Ajaran berkurban itu dibagi menjadi tiga, yaitu: zaman Nabi Adam As; zaman Nabi Ibrahim As; dan pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Pertama, yaitu pada zaman Nabi Adam. Kurban dilaksanakan oleh putra-putranya, yaitu Qabil dan Habil. Mereka bertikai tentang suatu hal, kemudian Allah menyuruh mereka berkurban untuk membuktikan siapa yang benar dalam pertikaian itu.
Sebagai petani, Qabil mengeluarkan kurbannya dari hasil pertaniannya. Dan sebagai peternak, Habil mengeluarkan hewan-hewan peliharaanya untuk kurban. Baik buah-buahan yang diqurbankan si Qabil, maupun hewan ternak yang diqurbankan si Habil, kedua orang tersebut mempunyai sifat berbeda. Habil mengeluarkan hewan diqurbankan dengan ikhlas, dia memilih hewan yang gemuk dan sehat. Berbeda dengan Qabil, dia memilih buah-buahan yang jelek-jelek dan sudah busuk.
Ketika keduanya melaksanakan qurban, ternyata kurban Habil diterima oleh Allah, sedangkan Qobil tidak. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 27, "Ceritakan kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari meraka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil), Ia berkata : "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil, "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa".
Kurban Habil diterima karena dia mengeluarkan sebagian hartanya yang bagus-bagus dan dikeluarkan dengan tulus dan ikhlas. Sementara Qabil mengeluarkan sebagian hartanya yang jelek-jelek dan hanya bertujuan untuk memenangkan pertikaian itu.
Kedua, pada zaman Nabi Ibrahim AS. Dikisahkan dalam Al-Qur'an surat Ash-Shaffat ayat 102-107 yang menceritakan mengenai qurban dan pengorbanan. Ketika Nabi Ibrahim berusia 100 tahun, beliau belum dikaruniai anak oleh Allah. Kemudian dari istrinya yang kedua, yakni Siti Hajar, lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ismail. Sejak dilahirkan sampai besar, Nabi Ismail menjadi kesayangan.
Pada suatu malam, Nabi Ibrahim bermimpi mendapat perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Ismail. Nabi Ibrahim berkeyakinan mimpinya itu merupakan mimpi yang benar, maka ia menanyakannya kepada Ismail, “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu." Ia menjawab, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, InsyaAllah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. Ash-Shaffat [37]: 102 )
Kemudian Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat sunyi di Mina. Dengan berserah diri kepada Allah SWT, Ismail dibaringkan dan segera Ibrahim AS mengarahkan pisaunya ke leher sang anak. Setelah terbukti kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail AS maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan kurban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (domba yang besar), sebagaimana di firmankan oleh Allah didalam surat Ash-Shaffaat : 103-107, "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Dalam zaman Nabi Muhammad, masalah kurban diceritakan kembali dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3, "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadanya nikmat yang banyak, maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan Berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus."
Peristiwa-peristiwa inilah yang menjadi dasar disyariatkannya kurban, yang hingga sekarang ini dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu.
Apa hikmah ibadah kurban? Hikmahnya adalah melatih kepatuhan dan kepasrahan total kita kepada Allah. Kalau Nabi Ibrahim AS dengan patuh dan tulus menyembelih putranya yang sangat disayangi, kita hanya diminta menyembelih hewan kurban yang dalam ketentuan fikih harus bagus, besar, sempurna, dan tidak cacat. Namun bukan berarti hewan kurbannya yang akan mendekatkan kita dengan Allah. "Daging-danging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya." (Al-Hajj : 37)
Hikmah lain dari kurban ini dapat kita lihat dari sisi vertikal dan horizontal. Jika dilihat dari sisi vertikalnya, berarti menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah (hablumminallah) atas semua nikmat yang telah diberikan kepada kita. Ditinjau dari segi horizontal, maka kita akan melihat sisi hablumminannas, memelihara rasa solidaritas dan sosial dengan orang-orang disekitar kita dengan pembagian daging kurban. Itulah hikmah daripada ibadah kurban. Wallaahu 'alam bisshowab
Komentar
Posting Komentar